Setahun lamanya aku menginjak
bumi ganesha ini, langkah demi langkah jalan hidup yang kutepak, terlalu banyak
yang kusaksikan, terlalu sering yang kuabaikan, terlalu banyak yang kupikirkan.
Seuntai rasa kagum yang tak ada habisnya pun masih tersemat didalam hati.
Tempat ini terlalu indah, tempat ini terlalu sejuk, tempat ini terlalu
menghanyutkanku ‘tuk berbangga, hidup dalam kemewahan.
Sering ibuku mengingatkan, nak
jangan kau turuti rasa banggamu, jangan kau biarkan semua yang kau punya
membawamu dan terlena. Hidupmu bukan hari ini, hari esoklah yang selalu
menghantui. Ingat siapa dirimu, ingat dari mana asalmu, ingat dengan apa kau
bisa tersenyum disana, ingat untuk apa kau jauh, ingat bagaimana caranya agar
kau bisa seperti mereka. Terlalu banyak wejangan yang kuterima. Tapi sering
kali kuberpikir, itu semua adalah hanyalah kekhawatiran seorang ibu pada
anaknya. Sungguh, aku berbangga.
sempat aku berjalan sendirian,
pulang ‘tuk beristirahat. Bermaksud untuk merebahkan badan di pembaringan
hangat dengan bantal dan selimut yang bergemul. Baru saja sedikit mengeluarkan
beberapa rupiah dari sakuku, membeli buah dan sebungkus makanan. Berniat akan menyantapnya
sebelum tidur nanti.
Perjalananku hingga rumah masih tinggal
ratusan kaki lagi. Di tepi jalan kulihat sebuah gerobak yang didorong oleh
seorang lelaki paruh-baya, puluhan bulatan putih terbuat dari kanji dan 3 botol
berwarna ada diatas gerobak itu. Seiring langkahku menelusuri jalan setapak
yang gelap. Terlintas di benakku, berapa penghasilan bapak itu seharinya,
takkah bapak itu akan membawakan makanan untuk keluarga dan mungkin tiga orang
anaknya. Takkah anak-anaknya yang merengek meminta dibelikan kue sepulang
jualan. padahal jualannya hanyalah bola-bola kanji yang dibumbui yang pastinya
pembelinya hanya anak kecil dengan uang lima ratusan. Lima ratus itu terlalu
murah untuk rasa lapar dan dahaga yang ia kuras untuk berjalan dan mendorong
gerobak itu hingga sejauh kiloan jalan raya. Tapi rasa lelah yang dibayar
dengan recehan itu tak mengurangi sedikitpun keramahan dan senyum tulus
dibibirnya. Kapankah ia akan pulang hingga terkumpul uang untuk bisa membeli
sebungkus kue untuk anaknya. Hidupnya terlalu sederhana.
Kurang kebih limapuluh kaki dari
sana. Hatiku dikejutkan oleh seorang lelaki tua yang tertidur dengan anak
perempuan kecil dipangkuannya yang juga sudah terlelap. Didepan nya tergeletak
sebuah wadah kumal kecil yang kosong, berharap ada orang-orang berpunya yang
lalu lalang di tengah kota besar ini yang merasa uang seribuan atau recehan tak
berharga lagi membuang lembaran dan koin tersebut kedalam penampung kehidupan
itu. Takkah angin malam dan gerimis ini membuatnya dingin, takkah kotoran kuda
ditepi sana itu membuat hidungnya merasa tidak nyaman, lelapkah tidur mereka
yang hanya bergeletakan diatas trotoar yang keras ini, bukankah dia juga
manusia sepertiku, terlalu banyak pertanyaan-pertanyaan retoris yang terlintas
dibenakku.
Dikejauhan sana kusaksikan dua
orang anak kecil duduk dilesehan angkot hijau menabuh botol dan gitar kecil
layaknya seorang artis yang tampil dipanggung dan diperhatikan ribuan orang.
Mereka baru lima tahun, mungkin belum,belum tahu untuk apa sebenarnya mereka
dilahirkan, tidakkah mereka kenal dengan kata bermain, tidakkah mereka kenal
dengan kata robot-robotan, boneka, atau mobil-mobilan. Mereka baru lima tahun,
sudahkah seharusnya mereka seperti ini, tidakkah mereka tahu betapa
berbahayanya kehidupan di sekitar lalu lintas dan kendaraan. Haruskah mereka kehilangan masa kanak-kanaknya
demi recehan uang untuk beli sebungkus nasi sayur, haruskah mereka hampa akan
pendidikan dan sekolah karena keadaan dan ketiadaan biaya atau mungkin
orangtua.
Akhh, hidup ini terlalu manis
bagiku tapi ironis bagi mereka. Baju kaos itu kotor bagiku tapi bersih bagi
mereka. Bungkusan itu sampah bagiku tapi makanan bagi mereka. Untukku nasi
kotak untuk mereka kotak nasi. Untukku minuman berkaleng tapi untuk mereka
kaleng minuman. Tempat pembuangan itu bau busuk bagiku tapi itulah aroma
mereka. Bukankah mereka juga sepertiku, tercipta dengan penginderaan yang sama,
terlahir sebagai seorang manusia dengan kodrat yang sama.
Pantaskah aku katakan kalau
sungguh hidup ini memang tidak adil sementara aku hidup daIam segala bentuk
kesempatan dan kebanggaan yang kututupi dengan sejuta penyesalan karena
kehilangan satu gelak-tawa saja dan
mereka bergelimangan dengan kesedihan yang mereka terima dengan senyum dan
keikhlasan. Sungguh Allah itu maha adil. Tiada yang tahu rencana Allah sebelum
semuanya terjadi. Atau mungkinkah inilah satu bentuk keadilan Allah, yang akan
dibuktikan diakhirat kelak. Wallahuallam...
Sungguh inilah cerminan hidupku.
Seperti sabda nabiku, seseorang adalah cermin bagi yang lainnya. Bagaimana
mungkin aku tertawa sementara banyak orang menangis diatas kebahagiaanku,
bagaimana mungkin aku menangis sementara banyak orang tersenyum dengan
kesedihannya, sungguh kekufuranku menjadi-jadi,
menguasai hingga ke lubuk hatiku. Merasa kekurangan diatas kemewahan. Merasa
kehausan setelah meneguk ribuan susu. Merasa kelaparan seusai menyantap potongan
daging bakar dengan sambel. Yaa Rabb, bangunkanlah hamba dari fatamorgana
kehidupan ini, sentuhlah hati ini dengan iman hingga rasa rindu akan
persaudaraan ini semakin menyala, siramkanlah jiwa ini dengan air telaga
kautsarMu hingga hilang rasa dahaga kekufuran hidup ini, tetesilah raga ini
dengan karuniaMu hingga kesucian itu menyertai setiap perbuatanku.
Amiin Yaa Kariim...
Walaa hajatan hiya laka ridhan illa qadai taha yaa arhamarahimiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar